MERANTAU
Saya ini bukan pehobi film. Tapi
sudah dua malam ini saya menonton 2 film Indonesia yang berbeda. Satu
dari dua film yang saya tonton itu adalah "Merantau". Cukup baik menurut
saya film itu. Tapi sayang jangan-jangan film itu akan memberika efek
ataupun pandangan yang buruk terhadap konsep merantau itu sendiri. Film
yang dibintangi oleh seorang atlet silat ini cukup membuat penonton
deg-degan. Sebab memang adegan demi adegan yang ditampilkan adalah
pertarungan.
Konsep merantau hampir dikenal oleh seluruh suku yang
ada di Nusantara. Terlebih lagi jika secara geografis tempat tinggal
suku itu berada pada suatu tempat yang gersang, tandus, dan tidak subur.
Sehingga sulit untuk mempertahankan hidup di situ. Maka, merantaulah
anak-anak mereka untuk mencari tempat baru dan penghidupan yang lebih
layak. Suku-suku di Sumatera, Sulawesi, mengenal sekali konsep merantau
ini.
Tapi sayang, konsep merantau yang secara luhur dimaksudkan
untuk mencari kehidupan yang lebih baik, sehingga terjadi perubahan
derajat hidupnya baik secara sosial maupun ekonomi tidak ditampilkan
secara nyata dalam film "Merantau". Dalam film ini seolah makna merantau
itu menjadi sesuatu yang buruk. Sebab tokoh utama dalam film itu harus
mati. Padahal jelas sekali apa yang diperjuangkannya bukan satu hal yang
hakiki. Bukan satu hal yang menjadi landasan utama, mengapa merantau
harus dijalankan.
Tokoh utama dalam film ini mati begitu saja
sebab menolognseorang perempuan yang tidak ada kaitan sama sekali dengan
tujuan utamanya merantau. Ini yang menjadi permasalahan. Konsep
merantau seolah sedang didekonstrusikan sedemikian rupa sehingga yang
ditampilkan adalah oposisi biner dari konsep luhur merantau itu sendiri.
Dalam tataran struktur film ini menampilkan latar yang hanya sekejap
saja. Sama halnya dengan latar sebuah cerpen. Bahkan pengisahan dari
film ini cuma bertitik kepada satu orang tokoh utama. Menurut saya
itulah kekurangan dari film ini.
Tapi secara umum film ini telah
berusaha untuk mengusung konsep kearifan lokal dalam tataran
sinematografi masa kini. Hal ini patut untuk diapresiasi, mengingat
bisnis sinematografi kini disibukkan dengan konsep dan tema kekinian
yang jauh dari identitas lokal masyarakat Indonesia.
